Merefleksi Hari Kebebasan Pers Internasional

Gowa)BenuaSulSelCom. Sejumlah pewarta/ Insan pers di seluruh Indonesia memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia yang diperingati setiap tanggal 3 Mei. Meski telah dirayakan selama dua dekade lebih, kemerdekaan pers, khususnya di Indonesia, sejumlah pewarta dan pengamat, menilai masih banyak yang kebablasan dan belum terjamin sepenuhnya kebebasan Pers. Sabtu (3/5/2014).

Indeks Kebebasan Pers 2021 di Indonesia naik. Meski demikian, pers belum sepenuhnya bebas. Kekerasan terhadap wartawan hingga ancaman pembunuhan dan, serangan digital masih dialami para jurnalis, hingga saat ini.

IKP Dewan Pers diperoleh melalui survei di 34 provinsi. Survei melibatkan 12 informan ahli di masing-masing provinsi. Para informan ahli terdiri dari pengurus aktif organisasi wartawan, pimpinan perusahaan media, masyarakat, dan pemerintah.

Tercatat ada 43 kasus kekerasan sepanjang 2021. Jenis kekerasan yang dialami jurnalis adalah teror dan intimidasi (sembilan kasus), kekerasan fisik (tujuh kasus), serta pelanggaran liputan (tujuh kasus). Ada pula serangan digital (lima kasus), ancaman (lima kasus), dan penuntutan hukum (empat kasus).

Peningkatan skor IKP Indonesia juga tampak di laporan IKP Dunia 2021 oleh Reporters Without Borders (RSF). Skor IKP Indonesia pada 2021 adalah 62,6. Dengan ini, Indonesia ada di peringkat ke-113 dari 180 negara yang diteliti. Pada 2020, skor IKP Indonesia 63,18 dan ada di peringkat ke-119 dari 180 negara.

Meski demikian, Indonesia termasuk satu dari 100 lebih negara yang lingkungannya ”sangat buruk”, ”buruk”, dan ”problematik” untuk kebebasan pers. Adapun negara dengan IKP tertinggi pada 2021 adalah Norwegia, kemudian Finlandia, Swedia, Denmark, dan Costa Rica.

Menurut Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim, secara umum kondisi kebebasan pers di Indonesia belum membaik. Ini mengingat masih adanya kasus kekerasan terhadap jurnalis.

“Kemajuan teknologi tidak hanya mendorong pertukaran informasi yang cepat. Hal ini juga membuat pekerja media rawan jadi sasaran serangan digital hingga pelecehan.”

”Belum adanya perbaikan signifikan dari segi regulasi, ekonomi (kesejahteraan), kekerasan terhadap jurnalis yang masih tinggi, dan impunitas pelaku kekerasan. Misalnya, pelaku kekerasan terhadap jurnalis (Tempo di Surabaya) Nurhadi waktu itu sudah divonis bersalah, kemudian hukumannya dikurangi saat (terdakwa) naik banding,” Kata Sasmito saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (1/5/2022).

Tantangan lain bagi jurnalis adalah regulasi yang kemudian digunakan untuk membatasi kerja pers. UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) digunakan untuk memidanakan jurnalis. Pada 2020, AJI mencatat dua jurnalis divonis bersalah karena melanggar UU ITE. Salah satu kasus karena jurnalis dinyatakan menyebar informasi yang menimbulkan permusuhan.

Pada 2021, AJI mencatat ada tiga laporan jurnalis terkait UU ITE. Adapun Dewan Pers mencatat sedikitnya 44 perkara terkait UU ITE pada tahun yang sama.

Sasmito mengatakan, kebebasan pers mesti dijamin agar demokrasi berjalan baik. Sebab, pers merupakan pilar demokrasi keempat. Pers yang bebas juga berfungsi untuk menjamin berjalannya pemerintahan yang bersih dan transparan, serta akuntabel.

”Apalagi, ini menjelang pemilu. Akan sulit jika kemerdekaan pers tidak dijamin. Tujuan dan agenda nasional akan sulit terwujud. Kebebasan pers ini bukan demi kebaikan jurnalis saja, tapi juga publik,” Ungkapnya.

Jurnalis juga jadi salah satu sasaran serangan digital, seperti peretasan dan doxing (pembongkaran data pribadi). Kanal digital WatchDoc diretas setelah film dokumenter tentang mantan pegawai KPK tidak lulus tes wawasan kebangsaan dirilis. Serangan digital juga terjadi di laman Project Multatuli setelah reportase tentang berhentinya penyelidikan kasus pemerkosaan terbit.

”(Kemerdekaan pers) masih jalan di tempat. Mengenai serangan digital, ini jadi PR pemerintah maupun negara yang semestinya memberi jaminan keamanan digital ke warga negaranya, termasuk jurnalis. Tidak bisa terjadi pembiaran-pembiaran,” kata Sasmito.

Menurut data SAFEnet, ada 13 kasus doxing yang dialami jurnalis pada periode 2017-2020. Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto mengatakan, doxing yang dialami jurnalis umumnya untuk memersekusi target di dunia maya. Persekusi diharapkan berlanjut ke dunia nyata.

”Doxing menjadi berbahaya ketika digunakan atau diarahkan pada kelompok kritis, termasuk jurnalis. Selain pemidanaan, doxing masuk dalam 25 kategori serangan terbanyak yang sering dialami jurnalis. Serangan doxing ini juga bersifat delegitimasi atau sebuah upaya untuk membuat jurnalis tersebut tidak dipercaya oleh publik,” tuturnya (Kompas.id, 26/4/2022).

Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mengatakan, kemajuan teknologi tidak hanya mendorong pertukaran informasi yang cepat. Hal ini juga membuat pekerja media rawan jadi sasaran serangan digital hingga pelecehan.

Hal tersebut juga terjadi pada jurnalis perempuan. Penelitian UNESCO menyatakan bahwa dari sepuluh jurnalis, lebih dari tujuh di antaranya pernah mengalami kekerasan daring. Namun, pelaku kekerasan kerap tidak meninggalkan jejak ataupun memperoleh impunitas.

”Ini mesti diakhiri. Kemajuan teknologi perlu didukung oleh penghormatan terhadap kebebasan, privasi, dan keselamatan jurnalis. Jaringan media sosial mesti berbuat lebih untuk mengatasi disinformasi dan ujaran kebencian, sekaligus melindungi kebebasan berekspresi,” kata Azoulay melalui keterangan tertulis. (RB#)

Tim Redaksi.

(Visited 25 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

scroll to top