Makassar]BenuaSulSel.Com. Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan global, termasuk di Indonesia, yang memiliki salah satu angka kasus tertinggi di dunia. Upaya eliminasi TB pada tahun 2030 menuntut kepemimpinan yang visioner, inovatif, dan kolaboratif. Kebijakan dalam pengambilan keputusan adalah masalah fundamental, karena merupakan keputusan akhir yang menghasilkan kebijakan yang harus dilaksanakan dalam sebuah organisasi dan akan mempengaruhi sistem dan hasil kerja (Ilmar, 2020). Secara garis lurus kebijakan akan memberikan dorongan dalam perkembangan dan menjadi dasar yang memuat perencanaan atas sebuah keputusan serta memiliki jangkauan hasil yang menitikberatkan pemusatan pada kebijakan tersebut. Arah kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin memiliki pengaruh sangat besar bagi suatu organisasi yang akan menjadi acuan dalam pekerjaan para bawahan (Edi, 2005).
Model kepemimpinan visioner dalam pengendalian TB, tantangan yang dihadapi, serta strategi penguatan kepemimpinan dalam rangka mencapai target eliminasi TB. Diharapkan dengan adanya model kepemimpinan yang efektif, program TB dapat berjalan lebih optimal dengan hasil yang signifikan. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi permasalahan kesehatan global. Indonesia menjadi salah satu negara dengan beban TB tertinggi, sehingga diperlukan upaya yang sistematis dan terarah untuk mencapai eliminasi TB pada tahun 2030. Salah satu faktor kunci dalam keberhasilan pengendalian TB adalah kepemimpinan yang visioner. Kepemimpinan ini mampu menghadirkan strategi inovatif, memperkuat koordinasi lintas sektor, serta memastikan implementasi kebijakan yang berbasis bukti.Kepemimpinan visioner dalam kebijakan pengendalian TBC harus memiliki beberapa karakteristik utama, antara lain:
1. Berorientasi Jangka Panjang:
Memiliki visi jelas dalam memberantas TBC dengan strategi yang berkelanjutan. Contohnya: pemimpin daerah yang menetapkan target eliminasi TBC dalam 10 tahun dengan strategi berbasis komunitas.
2. Inovatif:.
Mendorong penggunaan teknologi dan pendekatan baru dalam deteksi dan pengobatan. Contohnya: implementasi aplikasi mobile untuk memantau kepatuhan pasien terhadap pengobatan TBC.
3. Kolaboratif:
Membangun kemitraan antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat dalam pengendalian TBC. Contohnya: program kerja sama dengan perusahaan farmasi untuk distribusi obat yang lebih merata.
4. Berbasis Data:
Menggunakan bukti ilmiah dalam merancang dan mengevaluasi kebijakan. Contohnya: penggunaan data epidemiologi untuk menentukan area prioritas intervensi.
5. Adaptif:
Responsif terhadap perubahan situasi dan tantangan baru dalam pengendalian TBC. Contohnya: kebijakan yang menyesuaikan pendekatan berbasis tren resisten obat TBC.
Peulis. Sriwahyuningsih [Mahasiswa Program Dortoral Fakultas Kesehatan Masyrakat UNHAS].
Tim Redaksi.