LUWU UTARA-Benuasulsel.com-Pernyataan menarik dilontarkan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Riset dan Inovasi Daerah (Bapperida) Kabupaten Luwu Utara, Drs. H. Aspar, saat memimpin Rapat Koordinasi Internal perdana, Rabu (10/1/2024), di Aula Bapperida.
Dalam rapat yang dihadiri seluruh pejabat struktural dan fungsional, serta para staf itu, Aspar meluruskan pemahaman sebagian besar masyarakat tentang konsep kemiskinan. Menurutnya, masih banyak orang yang keliru memaknai konsep kemiskinan itu.
“Pemikiran masyarakat yang menyatakan bahwa Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah penyebab penambahan angka kemiskinan itu adalah keliru,” terang Aspar. Ia memaknai konsep kemiskinan itu dengan menggunakan pendekatan Basic Need Approach.
“Jadi, BLT bukan penyebab kemiskinan, tetapi BLT merupakan sarana dalam bentuk program dan kegiatan yang serupa dengan PKH, PIP dan BPNT yang diberikan kepada masyarakat yang masuk kategori miskin menurut hasil SUSENAS,” jelas Aspar.
“Jadi, masyarakat itu dikatakan miskin karena pemenuhan terhadap makanan, pakaian dan perumahan, dalam hal ini pangan, sandang, dan papan yang menjadi kebutuhan dasarnya yang sangat sulit mereka penuhi,” papar mantan Sekretaris DPRD Luwu Utara ini.
Dikatakan Aspar, masyarakat sangat sulit melampaui batas total pengeluaran antara masyarakat miskin dan bukan miskin yang sebesar Rp414 ribu lebih per bulan per orang. “Tahun lalu, garis kemiskinan berada pada kisaran Rp382 ribu, tahun ini Rp 414 ribu lebih, sementara tahun depan belum diketahui,” jelas Aspar.
Untuk itu, kata dia, tim anggaran harus mengontrol kegiatan masing-masing perangkat daerah agar mampu mengendalikan inflasi. “Jangan isinya perjalanan dinas saja, sebab jika inflasi tinggi dipastikan garis kemiskinan naik. Jika garis kemiskinan naik, sementara pendapatan masyarakat tidak bertambah, maka kemiskinan akan naik kembali,” ucapnya mengingatkan.
Mantan Sekretaris Satpol PP ini menyebutkan bahwa ada beberapa program dan kegiatan yang bisa berperan dalam mengendalikan kemiskinan, stunting, daya beli dan inflasi. Di antaranya pola pekarangan kebun, kolam dan kendang.
Pak Haji, begitu Aspar kerap disapa, juga meluruskan anggapan sebagain besar orang yang mengatakan bahwa konsep pemanfaatan pola pekarangan itu dapat mengurangi daya beli masyarakat. Padahal, jelas dia, sebaliknya dapat lebih produktif karena masyarakat dapat memperbanyak pemilihan jenis makanannya sendiri.
“Tabe, jika Anda mengonsumsi apa yang dihasilkan dalam pola pekarangan, maka barang yang dikonsumsi akan dinilai dan diinputasi sesuai harga berlaku di pasar dan dengan pola pekarangan, masyarakat leluasa memilih jenis bahan makanan yang mereka suka alias memperbanyak pilihan yang tidak bisa mereka lakukan di pasar, karena harganya mahal,” jelas Aspar.
“Dengan memperbanyak pilihan variasi sumber makanan berarti mereka akan menambah nilai yang mereka konsumsi dan juga akan meningkatkan daya belinya dan tidak dipengaruhi oleh mahalnya harga bahan yang mereka butuhkan tersebut,” sambungnya.
“Jangan lupa, sumber bahan makanan yang mereka ambil dari kebunnya sendiri akan dinilai sama dengan harga pasar atau sama hal kalau mereka ke pasar atau dalam istilah statistik nilai atau harga bahan makanan yang mereka peroleh akan di inputasi senilai harga di pasar,” katanya lagi.
Akibatnya, lanjut dia, masyarakat dapat keluar dari kemiskinan karena masyarakat setiap hari dapat membuat variasi makanannya dan memperbanyak nilai konsumsinya. “Juga daya belinya bisa meningkat dan terbebas dari inflasi karena inflasi itu hanya ada di pasar. Untuk itu, mari galakkan gerakan pola pekarangan ini secara serentak,” ajak Aspar.
Masih dia, masyarakat yang menjalankan kegiatan pemanfaatan pola pekarangan secara konseptual dapat mengurangi pengeluaran dari pendapatannya, sehingga uang yang diperuntukkan membeli makanan tadi dapat dialokasikan untuk keperluan non-makanan, salah satunya, memperbaiki rumahnya. (Ctr/LHr#)